Integritas Aparat Hukum Tambah Buram
Oleh Abdul Waid
Entah sudah berapa kali kasus semacam ini (baca: suap-menyuap) terjadi di negeri ini, seakan publik telah "bosan" mendengar aparat penegak hukum yang menyelewengkan amanah rakyat.
Kasus yang mencoreng penegakan hukum di
Kita tentu belum lupa dengan kasus dugaan suap-menyuap Irawady Joenoes, pejabat koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial (KY), yang tertangkap basah menerima suap dari Freddy Santoso, penjual tanah dari PT Persada Sembada, Jakarta, sebesar Rp 600 juta dan 30 ribu dolar AS dalam pengadaan tanah untuk gedung KY.
Secara de facto, tentu mereka bukanlah orang yang tidak mengerti tentang supremasi hukum. Mereka adalah orang "berpendidikan" yang secara sadar mengetahui bahwa secara konstitusional terdapat UU No 31/1999 pasal 5 ayat 1 yang telah diamandemen dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur soal penyuapan dan pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberian Hadiah.
Artinya, jika kasus penyuapan itu melibatkan orang awam, barangkali mereka masih memiliki alasan tidak mengerti tentang hukum. Lalu, kenapa justru orang yang mengerti hukum, bahkan aparat penegak hukum, yang secara terang-terangan melanggar ketentuan hukum? Itulah potret bahwa Indonesia masih krisis integritas aparat penegak hukum.
Di satu sisi, penangkapan Urip Tri Gunawan adalah prestasi berharga bagi pemerintah saat ini dalam upaya memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Prestasi itu bisa diasumsikan KPK memang terus mendukung upaya pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Agar dapat dipercaya bahwa pemerintahan SBY-JK benar-benar menjalankan apa yang dicita-citakan masyarakat.
Langkah KPK tersebut telah mengindikasikan adanya bentuk keberanian dalam mengawasi aparat penegak hukum, pejabat, agar pembiayaan dan anggaran bisa berjalan dengan baik.
Pada sisi lain, kasus suap yang melibatkan Urip Tri Gunawan semakin mengikis rasa hormat dan kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi hukum beserta individu-individu di dalamnya. Bukan tidak mungkin, tercemarnya nama baik Kejaksaan Agung sebagai sebuah institusi hukum, misalnya, adalah sebuah konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari karena ulah salah satu aparat kejaksaan yang dapat disuap.
Pertanyaannya, kepada siapa masyarakat layak menaruh harapan dalam penegakan hukum jika aparat penegak hukum telah terbukti melanggar hukum?
Refleksi Kritis
Kasus suap yang melibatkan Urip Tri Gunawan harus diakui semua pihak bahwa Indonesia masih krisis integritas aparat penegak hukum. Fenomena itu perlu dijadikan refleksi bagi pihak terkait seperti DPR untuk membenahi sistem perekrutan orang-orang yang akan duduk di lembaga hukum.
Subjektivitas personal, seperti kedekatan dengan salah satu partai, ataupun pemberitaan media mengenai loyalitas kinerjanya, tidak harus menjadi acuan utama dalam memilih orang-orang sebagai "penegak hukum". Sebab, belum tentu hal itu akan menjamin integritas seseorang dalam menegakkan keadilan.
Terbukti, meski Urip Tri Gunawan telah menapaki karir sebagai jaksa di Kejaksaan Agung, termasuk salah seorang jaksa yang "berteriak" menuntut mati Amrozi dan Imam Samudra, ternyata dia masih "tergiur" dengan suap. Untuk itu, ke depan dalam sistem penempatan para penegak hukum harus mempertimbangkan aspek-aspek lain, misalnya aspek etika dan moral, aspek religiusitas, aspek dedikasi, maupun aspek-aspek lain.
Selain itu, meski kasus tersebut bersifat individual dan bukan institusional, publik tetap menilai kasus itu melibatkan dua institusi penegak hukum, yaitu KPK dan Kejaksaan Agung.
Untuk itu, keduanya perlu menunjukkan independensi dan sikap bijak sebagai lembaga hukum. Meski tersangka adalah jaksa di Kejaksaan Agung, lembaga tersebut tetap harus membantu KPK dalam pengusutan kasus penyuapan yang melibatkan anggotanya. Artinya, sikap kooperatif harus ditunjukkan demi upaya penegakan hukum.
Masyarakat mungkin memprediksi akan terjadi kontradiktif antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus Urip Tri Gunawan. Karena itu, semua pihak, khususnya Kejaksaan Agung, harus menghormati segala proses hukum yang dilakukan KPK. KPK juga harus menunjukkan profesionalisme dalam menangani kasus tersebut. Semoga !
Abdul Waid, alumnus Pondok Pesantren TMI Nurul Huda Pakandangan Barat, Sumenep (E-Mail : a_waid04@yahoo.com)
0 komentar:
Post a Comment