Monday, June 20, 2016

MENJADI PEMBICARA YANG BAIK, ATAU DIAM


MENJADI PEMBICARA YANG BAIK, ATAU DIAM Oleh Budi Manfaat


Diam itu emas? Jika diam adalah emas, maka berbicara yang baik adalah mutiara. Dan mutiara lebih tinggi kelasnya dari pada emas. Banyak perubahan positif terjadi dimulai dari sebuah pembicaraan yang baik, maka bicaralah! Karena secemerlang apapun gagasan dan harapan Anda untuk memperbaiki keadaan, hanya akan menjadi mutiara tersembunyi di dasar lautan yang tak terlihat pesonanya, jika tidak dibicarakan.
MENJADI PEMBICARA YANG BAIK, ATAU DIAM
Banyak cara untuk berbicara: dengan lisan, dengan tindakan, atau dengan tulisan. Saat kelompok aksi mahasiswa menyampaikan orasi kritik atas kebijakan penguasanya yang dinilai tak adil, itu adalah contoh bicara dengan lisan. Mereka berharap teriakannya itu bisa didengarkan dan ditanggapi oleh sasaran pendengarnya. Saat sebagian dari mereka kemudian membakar ban bekas di tengah jalan raya, berharap mendapat perhatian masa, maka itu adalah contoh bicara dengan tindakannya. Dan ketika beberapa dari mereka kemudian menuliskan kritikannya itu dan dimuat dalam koran atau menerbitkannya dalam bentuk buku sehingga dapat dibaca oleh banyak orang, itu adalah contoh bicara melalui tulisan. Pendeknya, menyuarakan perubahan adalah dengan cara bicara, bukan diam.

Masalahnya, apakah menyampaikan orasi di jalanan untuk mengkritik ketidakadilan penguasa itu efektif? Apakah selalu bisa didengarkan secara utuh oleh sasaran pendengarnya? Atau jangan-jangan teriakan-teriakan yang menguras energi itu lebih banyak berlalu begitu saja bersama angin? Dan apakah membakar ban di tengah jalan juga efektif untuk menarik perhatian masa? Atau jangan-jangan malah menimbulkan masalah baru? Begitu juga, jika kritik dan protes itu disuarakan melalui tulisan yang dimuat di koran atau buku, apakah itu efektif? Atas pertanyaan-pertanyaan itu, jawabannya bisa iya bisa tidak. Bergantung apakah aksi bicara itu dilakukan dengan baik atau tidak. Yang jelas, bicara yang baik lebih tinggi kelasnya dari pada diam.

Tentu saja, berbicara bukan hanya untuk menuntut perubahan orang lain. Bahkan seharusnya tuntutan perubahan itu lebih dahulu adalah ditujukan pada diri kita sendiri. Bagaimana mungkin kita pantas menuntut dan mengkritik orang lain untuk berubah lebih baik, jika diri kita sendiri tidak pernah melakukan perubahan. Untuk apa berteriak lantang mencerca koruptor, jika diri kita sendiri masih terbiasa berlaku menipu. Buat apa bersemangat mati-matian menghujat ketidakadilan penguasa, jika nyatanya kita juga belum adil memperlakukan diri kita sendiri. Artinya, pembicara yang baik adalah: pembicara untuk dirinya sendiri, pembicara untuk keluarganya, dan pembicara untuk masyarakatnya.

“Jika hari ini Allah Swt masih menghidupkanku, maka artinya aku masih dipercaya untuk melakukan perubahan. Aku tak perlu sibuk membandingkan diriku dengan orang lain. Aku harus lebih sibuk membandingkan keadaanku hari ini dengan hari kemarin. Hidupku hari ini harus lebih baik dari hari kemarin”
“Tapi, hidupku bukan hanya tentang aku. Hidupku adalah juga tentang istriku, anak-anakku, keluarga besarku, dan juga tentang semua sahabatku. Maka, Duhai Yang Maha Pengasih dan Penyayang, alirkan energi positif untuk perubahan pribadiku, keluargaku, dan masyarakatku. Jadikan setiap pembicaraanku mengandung kebaikan. Selamatkan lisanku, tindakanku, dan tulisanku dari keburukan dan kesia-siaan. Karunikan kami kebaikan dan kemuliaan. Aamiin.”

Semoga, kita bisa menjadi pembicara yang baik untuk diri kita sendiri, keluarga, dan masyarakat. Aamiin.
Saya Budi Manfaat, ‪#‎SalamSuksesSejati‬! :-)
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : MENJADI PEMBICARA YANG BAIK, ATAU DIAM

0 komentar:

Post a Comment